SARJANA PENDIDIKAN
BINGUNG JADI GURU
Ada banyak sekali putra-putri
Indonesia yang ingin mengabdikan dirinya untuk ikut serta mencerdaskan
kehidupan bangsa, langkah awal tentu memenuhi kompetensi sebagai seorang
pendidik dengan mengambil pendidikan keguruan.
Beberapa perguruan tinggi di
Banjarmasin sendiri menyediakan fasilitas bagi mereka yang ingin memasuki fakultas
keguruan dengan berbagai program studi atau jurusan yang dapat dipilih sesuai
dengan minat, diantaranya ULM, UIN Antasari, UNISKA MAAB, STKIP Banjarmasin,
UMB, USM, UVAYA, dll.
Sebagai wadah pembinaan bagi
calon-calon pendidik masa depan tentu mata kuliah serta program pembinaannya
tidak lepas dari segala hal yang berhubungan erat dengan kurikulum, mulai dari proses
pembelajaran hingga sistem pendidikan, baik yang sifatnya teoritis maupun
praktek.
Biasanya, setiap tahun menjelang
tahun ajaran baru di sekolah, perguruan tinggi di Banjarmasin mengadakan
yudisium dan wisuda bagi mahasiswa-mahasiswinya yang telah menyelesaikan studi.
Tentu bukan hanya peserta didik baru yang akan mulai masuk sekolah tetapi juga
para lulusan perguruan tinggi tersebut yang akan masuk menjadi tenaga pengajar.
Ada satu pertanyaan yang kiranya
harus kita jawab bersama, cukupkah bekal yang dimiliki oleh seorang sarjana
lulusan keguruan untuk mengantarkannya ke dalamdunia pendidikan?. Jika
jawabannya adalah cukup, maka kita tentu memahami kata cukup dengan seadanya,
ibarat kata orang banjar “asal ada haja” tidak memberi jaminan akan
terpenuhinya sebuah tujuan mulia pendidikan.
Saya tidak bermaksud mengatakan
bahwa lulusan keguruan tidak memiliki kompetensi sebagai pendidik. Tentu ijazah
yang mereka miliki adalah lisensi bahwa mereka memiliki kompetensi.
Permasalahannya adalah, ada realita yang berbeda di sekolah dengan apa yang
didapatkan di perkuliahan.
Sebagai contoh, bagi fresh
graduate yang diberikan tugas menjadi guru kelas kebanyakan mengeluhkan
ketidakpahaman bagaimana teknis mengisi rapor siswa, belum lagi dengan aturan
dari dinas terkait tentang penggunaan semisal aplikasi rapor online atau
offline dengan format yang sama. Sehingga seringkali dinas selaku pembuat
kebijakan harus mengadakan sosialisasi dan bimbingan teknis. Begitupula halnya bagi
guru mata pelajaran, dipekuliahan mereka tentu diajarkan evaluasi pembelajaran
dan bagaimana membuat soal ujian, namun, ada kebingungan ketika mengolah nilai
ujian tersebut, sehingga acap kali keteteran dan terlambat menyerahkan rekap
nilai kepada guru kelas. Hal terburuknya adalah tidak objektifnya penilaian
oleh guru.
Seolah menjadi culture shock
bagi seorang sarjana pendidikan ketika memasuki dunia pendidikan, dimana
idealisme sebagai seorang mahasiswa pendidikan perlahan tapi pasti mulai patah.
Bagaimana tidak, sangat sulit untuk menerapkan pendidikan yang ideal dengan
segala teori yang didapat dibangku perkuliahan, kebanyakan malah terbawa arus.
Saya beri contoh, mengajar dengan RPP adalah hal yang wajib. Namun, kebanyakan guru
menjadi terlalu sibuk dan fokus kepada membuat silabus dan RPP, dampaknya
adalah guru seolah menjadi penyusun administrasi bukan guru pendidik. Sehingga
pada kenyataan kita dapati berbagai alternatif, seperti situs online penyedia
rpp hingga penjual rpp.
Ketidak merataan kurikulum juga
membingungkan bagi lulusan baru, banyak dari mereka yang mempelajari K13 namun
di sekolah tempatnya mengajar masih menggunakan KTSP, pun sebaliknya. Ketidak
merataan inilah yang menjadikan seorang sarjana pendidikan tidak bisa menjadi
seorang pendidik yang ideal bagi sistem pendidikan di negeri ini.
Belum lagi beban kerja guru yang
terkadang cukup besar sehingga tidak jarang para sarjana muda yang menjadi guru
honorer memutuskan untuk meninggalkan pengabdiannya. Karena tentu tidak semua
menjadi pendidik semata-mata mengabdikan diri, tentunya mereka juga mencari
penghidupan.
Belajar dari pengalaman sebagai
pengajar, saya berupaya merangkum beberapa saran dari jawaban atas keresahan
yang dirasakan oleh pengajar muda. Pertama, bahwa pemerintah seharusnya
mampu mengupayakan agar sekolah menggunakan kurikulum yang sama, agar perguruan
tinggi bisa benar-benar mempersiapkan tenaga pendidik dengan kompetensi terbaik;
kedua, perguruan tinggi dapat mengintegrasikan realitas dunia pendidikan
dengan silabus perkuliahan. Akan sangat miris jika seorang pendidik mengatakan
“saya tidak bisa, karena saya tidak pernah mempelajari ini diperkuliahan”;
ketiga, pola praktikum atau PPL bagi mahasiswa pendidikan yang semestinya
diperbaiki, seperti waktu pelaksanaan yang lebih lama, dan tidak semata praktek
mengajar di kelas, sehingga tidak terkesan hanya sebatas menunaikan kewajiban
perkuliahan.