PERANAN TANGAN DALAM MENGASUH ANAK



Tulisan ini ku buat dalam keadaan emosi masih tinggi karena tadi pagi saat dalam perjalanan ke Banjarmasin aku melihat ada seorang anak kecil kira-kira berusia sekitar kurang dari 2 tahun, terlihat dia baru bisa berjalan dengan tertatih-tatih.

Keadaan yang membuat darah tinggi ku online bukan anak itu, melainkan ketika anak itu berjalan menuju ke jalan raya kemudian orang tuanya menariknya dan memukulnya sebagai peringatan. 

Melihat itu lantas aku refleks dong menggerutu "ya kada harus dipukul jua kalo lah".

Tetapi aku melihat itu lebih kepada rasa jengkel dan kesal dari orang tuanya. Maaf nih sangka jahat, jika saja saja tidak dipukul mungkin aku akan lebih berprasangka baik dengan menganggapnya sebagai peringatan kepada sang anak.

Loh aku kan bukan bapaknya, punya anak belum, tau apa aku tentang mendidik anak-anak?!

Okay. Biar terlihat lebih akademis mari kita bahas melalui sudut pandang psikologi anak guna mencari pola asuh anak yang tepat.

Ada tiga macam pola asuh orangtua terhadap anak, yaitu:

 1. Authoritatan
 2. Permisif
 3. Authoritave

Mana yang paling tepat untuk anak Anda?
Dorothy Law Nolte pernah menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupan lingkungannya.
Lengkapnya adalah :

Jika anak dibesarkan dengan celaan,
ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan,
ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Pernyataan Dorothy tersebut menunjukkan bahwa lingkungan, terutama keluarga akan membentuk sikap dan perilaku anak. Hal ini sejalan dengan teori behaviorisme yang kita pelajari.

Setiap orang tua pasti ingin anaknya "berhasil" di masa depan. Namun, tampaknya kata "berhasil" memiliki makna yang variatif, sesuai dengan persepsi setiap orang tua.
Sebagai orang tua tentu harus menyiapkan tahapan-tahapan yang harus ditempuh untuk mendapat predikat berhasil, salah satunya adalah pola asuh.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya ada tiga macam pola asuh orang tua yang bisa menjembatani usaha orang tua dalam membina anaknya untuk sukses, yaitu : Authotarian, Permisif dan Authoritative.

Mengutip dari artikel  yang ditulis oleh Rabiatul Adwiah (Dosen Prodi PPKn FKIP ULM Banjarmasin) yang berjudul Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Anak. Ia mengutip dari Hurlock (1999) yang membagi pola asuh kepada 3 macam.

1. Pola Asuh Permissif
Dalam pola asuh ini orang tua cenderung cuek dan membebaskan anaknya dalam melakukan apapun yang diinginkannya.
Pola asuh seperti ini kemungkinan buruknya adalah dapat menjadikan anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang ada. Namun bila anak mampu menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab, maka dapat menjadi seorang yang mandiri, kreatif, dan mampu mewujudkan aktualitasnya.

2. Pola Asuh Otoriter
Menurut  Gunarsa (2002), pola asuh otoriter yaitu pola asuh di mana orang tua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam dan dihukum. Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak menjadi tidak percaya diri pada kemampuannya.

3.  Pola Asuh Demokratis
Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa dalam  menanamkan disiplin kepada anak,  orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan dan menghargai kebebasan yang tidak mutlak, dengan bimbingan yang penuh pengertian antara anak dan orang tua, memberi penjelasan secara rasional dan objektif jika keinginan dan pendapat anak tidak sesuai.

Menanggapi pukulan terhadap anak yang ku pahami sebagai kekerasan fisik, mari kita bedah.
Definisi kekerasan fisik menurut pasal 6 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang pengahapusan kekerasan adalah “Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”.

Hal ini dipertegas kembali menurut WHO bahwa “Kekerasan fisik adalah tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau potemsi menyebabkan rasa sakit yang dilkukan oleh orang lain, dapat terjadi sekali/berulang kali, kekerasan fisik misalnya dipukuli, ditendang, dijewer/dicubit”.

Kemudian dibenarkan oleh KPAI bahwa “Kekerasan fisik adalah kekerasan yang berjangka panjang yang dilakukan seseorang/kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri. Artinya ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang/membuat tekanan, trauma/depresi, ataupun kecacatan fisik akibat perlakuan tersebut.

Seharusnya dengan membaca ini kita sudah mengerti bahwa memukul tergolong kekerasan fisik.

Orang tua dalam keluarga memiliki peran dan tanggung jawab terhadap anaknya. 
Setiap orang tua ingin mempunyai anak yang berkepribadian akhlak mulai atau yang saleh. Untuk mencapai keinginan tersebut, orang  tua diharapkan untuk mengoptimalkan peran dan tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anaknya.

Peran dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga dalam perspektif pendidikan Islam yaitu: memberi teladan; memelihara dengan memberikan makanan dan minuman yang halal dan thayyib  serta mengembangkan potensi anak; dan membiasakan anak sesuai dengan perintah sehingga menjadi anak yang berakhlak mulia; memberikan kasih sayang; dan menjaga ketentraman serta ketenangan dalam keluarga.

Mengasuh dan mendidik anak yang  dilakukan orang tua dengan berbagai macam pola asuh seperti demokratis; otoriter; permisif; dan penelantar (acuh tak acuh). Pola asuh yang menjadi sorotan saat ini adalah pola asuh otoriter yang identik dengan tanpa kasih sayang, kekerasan, mengengkang anak, dan memaksa. Pola ini akan menjadikan batin anak tersiksa, krisis kepercayaan, potensinya tidak berkembang secara optimal, hingga mengalami trauma dan sebagainya. Pola asuh seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengawali konsep kasih sayang dalam mendidik anak.

Islam sebagai agama solutif terhadap permasalahan yang terjadi dalam keluarga tentang bagaimana mendidik anak sesuai dengan usia dan masa pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh ini telah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw.  Adapun pola asuh tersebut, yaitu: membimbing cara belajar sambil bermain pada jenjang usia 0-7 tahun; menanamkan sopan santun dan disiplin pada jenjang usia 7-14 tahun; dan ajaklah bertukar pikiran pada jenjang usia 14-21 tahun, dan sesudah itu lepaskan mereka untuk mandiri. (Jurnal Intelektualia, Volume 5, Nomor 1, Juni 2016).

Kemudian saya teringat akan sebuah Hadis, sebagai berikut:

4- وعن عمر بن شعيب عن أبيه عن جده رضي الله عنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ. حديث حسن رواه أبو داود بإسناد حسن. (شيخ الإسلام محي الدين أبي زكرياء يحيى بن شرف الدين النواوي - رياض الصالحين: صفحة 159)

Saya kasih terjemahannya nih, kurang lebih begini:
Diriwayatkan dari Amr bin Syu'aib, ia mengambil sanad dari ayahnya dan ayahnya dari kakeknya R.A. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia 7 tahun, dan pukullah mereka jika tidak shalat ketika berusia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur diantara mereka. - Hadis ini menempati derajat Hasan, diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Hasan. (Dikutip dariRiyadus Shalihin karya Syaikhul Islam Yahya bin Sarfuddin An Nawawi; hal 159).

Hadis ini mengajarkan bahwa ketika anak yang akalnya belum sempurna, dalam hal ini sebelum 7 tahun, maka gunakanlah cara memaklumi setiap perbuatan anak. Pada fase ini anak-anak berada pada fase dimana mereka merekam dan mencari panutan dalam bersikap dan berkelaluan. 

Setelah 10 tahun maka pukul jika anakmu tidak mau shalat. Iya, shalat adalah kewajiban bagi muslim yang mukallaf (balig/ sampai umur dan berakal). 

Kemudian dalam hadis ini juga dimaksudkan untuk memisahkan mereka dari tempat tidur. Maksudny adalah bahwa mereka tidak lagi dibiarkan tidur bersama orang tua, dan pisahkan dari saudaranya yang berbeda jenis kelamin. Selain itu, dalam konteks shalat, maka kita boleh dan dianjurkan membangunkan mereka dari tidur untuk mengerjakan shalat. 

Maka yang dimaksud dengan memukul anak pada usia 10 tahun adalah jika mereka meninggalkan kewajibannya atau melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh agama atau melanggar norma-norma yang berlaku. 

Semoga bermanfaat.
Billahitaufiq Walhidayah. 


Penulis Blog Musiman,  Admin Instagram emfakhry.ar dan twitter @emfakhry_ar


Posting Komentar

0 Komentar